Pada kedua tipe DM, terjadi defisiensi insulin. Jika pada DM tipe 1, defisiensi insulin disebabkan karena proses autoimun, pada DM tipe 2 disebabkan beberapa faktor, yaitu berkurangnya massa sel B pankreas, kadar asam lemak yang tinggi (lipotoksisitas), hiperglikemi kronik, amilin, kelelahan sel B pankreas dan faktor genetik.
Berkurangnya massa sel B pankreas banyak terjadi pada penderita DM tipe 2. Pada studi post-mortem telah dilaporkan terjadi pengurangan sel B pankreas sebanyak 40-60%. Hiperglikemi kronik selalu diikuti dengan menurunnya respon sekresi dan kerja insulin. Hal ini disebabkan akibat terjadi gangguan pada hidrolisis membran prospoinositida yang mengakibatkan penurunan konsentrasi diasilgliserol dan inositofosfat dalam sel B dan pada akhirnya mengurangi sekresi insulin. Hiperglikemi kronik menyebabkan resistensi insulin sebagai akibat down regulation dari sistem transport glukosa dengan adanya konversi fruktosa-6-fosfat menjadi glukosamin-6-fosfat yang menurunkan sensitivitas insulin di perifer.
Resistensi insulin banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2. Resistensi insulin terjadi bila kemampuan insulin untuk meningkatkan ambilan dan disposal glukosa di jaringan perifer (otot dan jaringan adiposa) terganggu atau kadar insulin normal menghasilkan efek biologis yang kurang dari normal. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan resistensi insulin antara lain, obesitas, diet, kurang gerak badan, hiperglikemi kronik, dan faktor genetik (Funk dan Feingold, 1995; Sugiyanto, 2004).
KOMPLIKASI
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemik merupakan komplikasi tersering pada penderita DM yang mendapat terapi insulin. Komplikasi ini dapat terjadi pada penderita yang mendapat terapi sulfonilurea oral terutama penderita lanjut usia dengan gangguan fungsi hati atau ginjal yang mendapat obat-obatan dengan masa kerja yang panjang dan sangat poten seperti klorpropamid atau gliburid, lupa atau terlambat makan atau akibat latihan fisik yang lebih kuat dari biasanya tanpa suplemen kalori atau akibat penurunan dosis insulin (Dipiro, 2005).
a. Koma
Koma adalah suatu keadaan gawat darurat yang memerlukan evaluasi segera untuk menentukan penyebabnya agar dapat diberikan terapi yang sesuai. Klasifikasi etiologi koma diabetik :
1). Koma Hiperglikemik
Koma hiperglikemik dapat menyertai defisiensi insulin yang berat (ketoasidosis diabetik) atau defisiensi insulin ringan sampai sedang (koma non-ketotik hiperglikemik, koma hiperosmolar).
Ketoasidosis diabetik merupakan manifestasi pertama dari kasus yang sebelumnya tidak terdiagnosis atau dapat terjadi akibat kegagalan terapi insulin eksogen pada penderita DM. Ketoasidosis diabetik telah ditemukan pada penderita DM sebagai salah satu komplikasi yang cukup sering dari terapi insulin.
Hiperglikemik dan hiperosmolar non-ketotik ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya ketosis yang nyata. Komplikasi ini terjadi pada penderita paruh baya atau lanjut usia dengan DM tipe 2 yang seringkali ringan atau tersamar. Timbul letargi dan perasaan kacau saat osmolalitas serum melampaui 300 mosmol/L dan koma jika osmolalitas serum melampaui 330 mosmol/L (Braunwald, 2005).
2). Koma Hipoglikemik
Komplikasi ini terjadi akibat dosis insulin atau obat hipoglikemik oral (OHO) yang diberikan terlalu berlebihan. Umumnya terjadi pada terapi penggantian insulin pada penderita DM. Hipoglikemik dapat terjadi pada tiap penderita dengan terapi yang mendapat sulfonilurea oral, terutama jika penderita sudah lanjut usia, menderita penyakit ginjal atau hati, atau tengah mendapat pengobatan lain yang dapat mengubah metabolisme sulfonilurea (seperti fenilbutazon, sulfonamid atau warfarin). Komplikasi ini lebih sering terjadi dengan sulfonilurea masa kerja panjang dibandingkan obat-obat sejenis dengan masa kerja lebih singkat. (Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
a. Asidosis Laktat
Reaksi ini terutama terjadi menyertai anoksia jaringan berat, sepsis atau kolaps kardiovaskular. Jika penderita DM datang dengan asidosis hebat tetapi kadar asam keto dalam plasma relatif rendah atau tidak terdeteksi, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan tingginya kadar laktat plasma (lebih dari 6 mmol/L), terutama jika sebab asidosis lainnya seperti uremia tidak ditemukan (Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
1. Komplikasi Kronis
a. Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular ini merupakan penyakit pada pembuluh darah terkecil, yaitu perifer dan arteriol pra-kapiler. Komplikasi ini terutama tampak sebagai penebalan membran basalis kapiler.
1). Retinopati Diabetik
· Retinopati Non-proliferatif
Menggambarkan stadium paling awal dari keterlibatan retina pada diabetes dan ditandai oleh perubahan-perubahan seperti mikroaneurisme, pendarahan berbintik, eksudat, dan edema retina. Pada stadium ini, kapiler-kapiler retina meloloskan lemak, protein atau sel darah merah ke dalam retina. Bila proses ini berlangsung di makula (daerah dengan kepadatan sel penglihatan tertinggi), maka akan timbul gangguan penglihatan. Kejadian ini merupakan penyebab gangguan penglihatan tersering pada DM tipe 2 dan terjadi pada sekitar 6% penderita setelah beberapa waktu.
· Retinopati Proliferatif
Penyakit ini melibatkan pertumbuhan-pertumbuhan kapiler baru dan jaringan fibrosa pada retina ke dalam badan kaca. Terjadi akibat adanya sumbatan pembuluh darah kecil yang menyebabkan hipoksia retina dan merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru. Retinopati proliferatif dapat terjadi pada kedua tipe penyakit DM, tetapi lebih sering terjadi pada DM tipe 1. Penyakit ini timbul 7-10 bulan setelah gejala awal. (Dipiro, 2005).
2). Nefropatik Diabetik
Tiap tahunnya, sekitar 4000 kasus penyakit ginjal stadium akhir akibat nefropati diabetik terjadi pada penderita DM di Amerika. Angka ini mewakili 25% dari seluruh penderita yang dirawat sebagai kasus gagal ginjal. Penebalan membran basalis kapiler dan mesangium glomerolus ginjal menyebabkan glomerulosklerosis dalam berbagai tingkatan serta insufisiensi ginjal. (Dipiro, 2005).
3). Neuropati Diabetik
Neuropati perifer dan otonom merupakan 2 bentuk komplikasi tersering pada kedua tipe DM. Patogenesisnya masih belum dipahami. Bentuk neuropati perifer yang lebih sering dijumpai yaitu neuropati sensorik dan motorik simetris serta neuropati otonom. Komplikasi ini diduga sebagai akibat toksisitas metabolik atau osmotik yang terkait hiperglikemia.
· Neuropati Perifer Sensorik
Merupakan defisit sensorik yang seringkali didahului parestesia, rasa gatal dan nyeri yang makin bertambah selama beberapa bulan atau tahun. Sindroma-sindroma khas yang terjadi pada penderita DM dengan neuropati sensorik, termasuk osteopati tangan dan kaki distal, deformitas lutut atau pergelangan kaki, dan ulserasi neuropatik pada kaki.
· Neuropati Motorik
Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan neuropati sensorik dan dihubungkan dengan perlambatan hantaran saraf motorik dan kelemahan serta atrofi otot.
· Neuropati Otonom
Komplikasi ini sering terjadi pada penderita DM yang sudah berlangsung lama dan merupakan problem klinis yang sangat mengganggu. Neuropati dapat melibatkan gangguan viseral. Dapat terjadi hipotensi postural, takikardia saat istirahat yang menetap, penurunan respon kardiovaskular, gastroparesis, episode-episode diare (seringkali pada malam hari) dan konstipasi, kesulitan mengosongkan kandung kemih, dan impotensi. (Dipiro, 2005).
b. Makrovaskular
1). Penyakit Jantung
Pada penderita DM sering disebabkan aterosklerosis koroner. Akibat yang sering terjadi adalah gagal jantung, infark miokardium yang merupakan penyebab kematian utama pada penderita DM tipe 1.
2). Penyakit Vaskular Perifer
Manifestasi kliniknya meliputi iskemia dari ekstremitas bawah, impotensi, dan angina usus.
3). Penyakit Serebrovaskular
Diabetes merupakan faktor resiko terjadinya oklusi pada cabang serebral dan arteri basilar anterior, pertengahan, dan posterior yang dapat memicu terjadinya infark serebral atau pendarahan intraserebral. Terjadinya infark serebral pada penderita DM ditandai peningkatan jumlah area infark, terutama lakuna dan pada beberapa kasus ditemukan banyak lesi. Lesi ini terutama terletak pada area yang mendapat suplai dari arteri paramedian kecil (basal ganglia, talamus, kapsul internal, dan serebellum). Encephalomalacia juga banyak didapatkan pada penderita DM. Penyakit ini makin parah dengan bertambahnya usia penderita dan lesi biasanya terdapat pada otak tengah. (Goulon-Goëau dan Said, 1994; Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
c. Dermopati Diabetik
Dermopati diabetik ditandai oleh bercak-bercak coklat atrofik pada kulit, biasanya pada daerah pretibia (“bercak-bercak tulang kering”) (Braunwald, 2005).
d. Komplikasi Tulang dan Sendi
Komplikasi tulang dan sendi biasanya dihubungkan dengan gangguan metabolik atau vaskular dari DM yang sudah berlangsung lama.
· Cheirarthropathy diabetic juvenilis, yaitu sindroma kekakuan kronik progresif pada tangan sekunder dari kontraktur dan pengencangan kulit di atas sendi-sendi. Biasanya timbul dalam 5-6 tahun sesudah gejala awal pada DM tipe 1.
· Kontraktur Dupuytren, adalah penebalan fasia palmaris tangan, menimbulkan deformitas seperti cakar. Pada pasien DM, hal ini merupakan akibat nekrosis sistemik dan pembentukan jaringan parut sekunder pada jaringan ikat sebagai konsekuensi mikroangiopati diabetik.
· Demineralisasi tulang, densitas tulang seperti terukur dengan absorbsi foton pada lengan bawah adalah 10-20 % di bawah normal pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol yang sepadan.
· Bursitis, terutama terjadi di daerah bahu dan pinggul pada pasien DM.
(Dipiro, 2005).
e. Infeksi
Beberapa jenis infeksi seperti bakteriuria, esofagitis kandida, dan vaginitis kandida lebih sering menyerang pasien DM dibandingkan kontrol lain yang sepadan. Aterosklerosis dengan penyakit vaskular perifer sangat lazim pada populasi DM dan iskemia yang ditimbulkannya berperan penting dalam terjadinya infekdi ekstremitas bawah (Goulon-Goëau dan Said, 1994; Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
f. Gangren
Pada diabetes melitus kronik terjadi kerusakan pada sistem saraf perifer yaitu komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Gangguan persarafan ini disebabkan karena neuropati diabetes. Neuropati diabetes ini awalnya disebabkan oleh hipoksia sel-sel saraf, kemudian sel Schwann sebagai sel penunjang saraf mulai menggunakan metode alternatif untuk menangani beban peningkatan glukosa kronik, yang akhirnya menyebabkan demielinisasi segmental saraf-saraf perifer. Demielinisasi menyebabkan perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas saraf, yang kemudian menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri. Akibatnya, kemungkinan pasien untuk mengalami cedera terutama pada ekstrimitas bawah semakin besar. Begitu pasien cedera atau terluka, ditambah dengan adanya gangguan aliran darah dan sistem imun, luka tersebut akan menjadi gangren.
Gangren itu sendiri merupakan akibat dari kematian sel dalam jumlah besar. Gangren dapat diklasifikasikan sebagai gangren kering atau basah. Gangren kering meluas secara lambat dengan hanya sedikit gejala. Gangren kering sering dijumpai di ekstremitas, umumnya terjadi akibat hipoksia lama. Gangren basah adalah suatu daerah dimana terdapat jaringan mati yang cepat perluasannya, sering ditemukan di organ-organ dalam, dan berkaitan dengan invasi bakteri ke dalam jaringan yang mati tersebut. Gangren ini, menimbulkan bau yang kuat dan biasanya disertai manifestasi sistemik. Gangren basah dapat timbul dari gangren kering. Gangren gas adalah jenis gangren khusus yang terjadi sebagai respon terhadap infeksi jaringan oleh suatu jenis bakteri aerob yang disebut clostridium. Gangren jenis ini paling sering terjadi setelah trauma. Gangren gas cepat meluas ke jaringan di sekitarnya sebagai akibat dikeluarkannya toksin-toksin oleh bakteri yang membunuh sel-sel di sekitarnya. Sel-sel otot sangant rentan terhadap toksin ini, dan apabila terkena akan mengeluarkan gas hidrogen sulfida yang khas. Gangren jenis ini dapat mematikan. (Braunwald, 2005).