Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 Februari 2011

terima kasih hendy mardhiono

gak kerasa udah hampir 5 tahun aq jalan dengan pacar aq hendy,....awal pertemuan kami karena dikenalkan oleh sahabat aq sofia ,....dia teman kuliah ku,..sekaligus sahabat dan saudara buat aq, meski kadang memang kerap kali aq sering salah paham ama dia, aq jalan ama hendy sejak 2006 sampai sekarang ,...jarak jauh surabaya - jerman aq dan hendy tempuh,...total selama kurang lebih 4tahun pacaran, baru tahun ke 4 kita ngerayain anniversary bareng,...tepatnya 17 agustus 2010 kemaren,....hendy gak hanya sekedar pacar buat aq, dia orang nya pengertian, dan sayang yang dia kasi ke aq membuat aq menjadi lebih dewasa,..dia selalu berusaha membuat aq untuk menjadi lebih dewasa dengan cara - cara nya yang sangat spesial ,....dia selalu berusaha memanjakan aq walo kadang dia gak mau,.....sekarang dia sedang bekerja di jerman kisah cinta indonesia - jerman selama 4 tahun ini begitu spesial......hendy orang yang banyak membantu aq dalam kedewasaan berfikir ku,....dia selalu mengjak ku untuk berpandangan luas dan gak terburu - buru,.....merenung sejenak tadi malam dan aq berkata dalam hati " terima kasih hendy mardhiono " ,....terima kasih atas sayang dan cinta nya,....

Sabtu, 08 Januari 2011

KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS

SEPSIS

Sepsis merupakan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yang disertai dengan infeksi. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respon peradangan sistemik yang terjadi akibat adanya infeksi maupun non infeksi. Pada keadaan SIRS dapat terjadi 2 atau lebih kondisi sebagai berikut :
a)            Suhu : lebih dari 38ºC (100,4ºF) atau kurang dari 36ºC (96,8ºF)
b)            Denyut nadi lebih dari 90 kali/menit
c)            Denyut nafas lebih dari 20 kali/menit atau PaCO2 kurang dari 32 torr
d)            White Blood Cell lebih dari 12000 sel/mm3 atau kurang dari  4000 sel/mm3
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan adanya perubahan perfusi organ dengan minimal satu dari kondisi di bawah ini :
a)            Perubahan status mental akut,
b)            Hipoksia (PO2 < 60 mmHg)
c)            Peningkatan asam laktat atau metabolik asidosis, oliguria < 0,5 cc/kg/hr.
Syok sepsis adalah sepsis berat dengan hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan  lebih dari 40 mmHg dari tekanan darah sistolik dasar  
KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai aktivitas menahan garam dan disintesis dalam sel-sel zona glomerolus. Sedangkan glukokortikoid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan mempengaruhi aktivitas antiinflamasi (mencegah pelepasan fosfolipid, menurunkan aksi eosinofil dan mekanisme lainnya) serta mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang bermakna. Contoh mineralokortikoid sintetik adalah Fludrocortison sedangkan glukokortikoid sintetik seperti Prednison, Predisolon, Metilprednisolon, Betametason, Dexametason.
PRO DAN KONTRA PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS
Penggunaan kortikosteroid pada terapi sepsis masih merupakan kontroversi yang membuat adanya pendapat pro dan kontra dalam penggunaan kortikosteroid. Hal ini diakibatkan oleh efek umum kortikosteroid yang bersifat imunosupresan yang dapat memperlama terjadinya infeksi pada penderita sepsis. Akan tetapi kortikosteroid juga memiliki efek anti inflamasi pada tubuh yang dapat menghambat kerusakan dan mencegah terjadinya disfungsi organ akibat faktor inflamasi seperti IL-1, TNF-ά, dll, sehingga dapat memperlambat progresifitas sepsis menjadi syok sepsis dan MODS. Bahkan pada syok sepsis, pada beberapa penelitian telah terbukti dapat meningkatkan survival rate dari pasien, terutama pada pasien dengan insufisiensi adrenal. Hal ini dikarenakan pada kasus insufisiensi adrenal, kortisol pada tubuh menurun akibat adanya penurunan produksi ACTH akibat adanya stress pada anterior ptituari. Turunnya produksi ACTH ini menyebabkan menurunnya efek vasopressor yang dimiliki oleh kortisol dan aldosteron yang menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis sehingga terjadi syok sepsis.

Sabtu, 01 Januari 2011

macam - macam obat kanker


 Avastin
·        Komposisi : Bevacizumab
·        Golongan : Rekombinan monoklonal antibodi imunoglobulin G.
·        Mekanisme : Mengikat VEGF (vascular endothelial growth factor receptor) dan mencegah interaksi VEGF dengan reseptornya pada permukaan sel endotelial sehingga menghambat proliferasi sel.
·        Indikasi : Pilihan pertama untuk terapi kanker kolorektal metastase. Pilihan kedua untuk terapi kanker ginjal.
·        Efek samping : Efek samping yang paling serius (2% kejadian yang bersifat idiosinkrasi) adalah pendarahan lambung atau perforasi, terkadang disertai pembentukan abses intra abdominal; mengurangi proses penyembuhan luka; hipertensi; proteinuria; pendarahan pulmonari parah (jarang).
 Herceptin
·        Komposisi : Trastuzumab
·        Golongan : Monoklonal antibodi
·        Mekanisme : Menekan pembelahan dan pertumbuhan sel kanker payudara dengan mengeblok ikatan protein HER2 (human epidermal growth factor receptor) dengan sel kanker. Herceptin juga bekerja dengan cara menyerang sistem imun untuk membantu merusak sel kanker. Herceptin hanya bekerja pada orang yang memiliki level HER2 protein tinggi.
·        Indikasi : Spesifik untuk kanker payudara
·        Efek samping : Flu-like symptom (demam, menggigil, sesaat setelah pemakaian herceptin), nyeri, diare, sakit kepala, reaksi alergi (namun jarang terjadi).
Iressa
·        Komposisi  : Gefitinib
·        Golongan : Inhibitor EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor) tirosinkinase.
·        Mekanisme : Menghambat tirosin kinase EGFR dengan menghambat jalur tranduksi sinyal yang penting untuk proliferasi, diferensiasi, angiogenesis dan metastasis sel kanker.
·        Indikasi : Spesifik untuk NSCLC (Non Small Cell Lung Cancer).
·        Efek samping    : Rash, diare, dan rasa nyeri .toksisitas pulmonary: Interstitial Lung Disease (ILD), gejala-gejala batuk, dispnea dan demam (1% dari keseluruhan kejadian, tetapi 1/3 dari kasus menjadi fatal); diare; reaksi kulit; acne like rash, kulit kering, membutuhkan penghentian terapi; berpotensi emetogenik rendah; hepatotoksik; nyeri pada mata.
 Mabthera
·        Komposisi : Rituximab
·        Golongan : Monoklonal antibodi
·        Mekanisme : Rituximab berikatan dengan molekul spesifik (CD20) pada sel B-limfosit (sel B), sehingga menyebabkan kekacauan regulasi (sel mati).
·        Indikasi : Spesifik untuk kanker limfa dengan sel beta non aktif yang kemoresisten atau mengalami relaps.
·        Efek samping : Membunuh sel  B-limfosit yang normal. 
 Nexavar
·        Komposisi : Sorafenib
·        Golongan : Inhibitor enzim multikinase
·        Mekanisme :     Memblok raf kinase dan menghambat angiogenesis tumor melalui penghambatan aktivasi reseptor tirosin kinase, termasuk VEGFR 2 dan 3 (vascular endothelial growth factor receptor), PDGFRβ (platelet-derived growth factor receptor-beta), FLT3, c-KIT dan p38α.
·        Indikasi  : Untuk karsinoma sel ginjal pada pasien yang gagal atau tidak cocok menerima terapi sitokin.
·        Efek samping : Hipertensi, rash, diare, mual muntah.
Temodal
·        Komposisi : Temozolamid
·        Golongan  : Non classic alkylating agent
·        Mekanisme : Termozolamid secara cepat berubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu MITIC ((5-(3-methyltriazen-1-yl)imidazol-4-carboxamide)) yang dapat merusak replikasi DNA melalui metilasi guanin.
·        Indikasi : Tumor otak, melanoma.
·        Efek samping : Leukopenia, trombositopenia, efek samping yang sering terjadi (>30%) pasien mengalami konstipasi, sakit kepala, mual, muntah, kelelahan.
 Xeloda
·        Komposisi : Capecitabine
·        Golongan :  Fluoro pirimidin karbamat 
·        Mekanisme : Capecitabine secara invitro tidak bersifat sitotoksik, namun secara invivo akan berubah menjadi 5-fluorourasil. 5-fluorourasil akan berubah menjadi 5-fluoro-2-deoxiuridin monophosphat (FdUMP) dan 5-fluorouridin triphosphat (FUTP). Efek sitotoksik dihasilkan dengan 2 mekanisme yaitu melalui jalur FdUMP dan FUTP. Pertama FdUMP dan kofaktor folat N5-10methylenetetrahidrofolate berikatan dengan thymidylat syntase untuk membentuk komplek ternary, sehingga menghambat pembentukan thymidylat. Timidilat merupakan prekusor dari thymidin triphopsphat yang penting untuk sintesis DNA. Kekurangan prekusor ini akan menyebakan terhambatnya proses pembelahan sel. Kedua enzim nuclear transcriptional dapat berikatan dengan FUTP pada gugus uridin triphosphat selama sintesis RNA, sehingga akan mengganggu proses metabolisme RNA dan sintesis protein.
·        Indikasi : Pilihan utama untuk kanker kolorektal dan payudara.
·        Efek samping yang sering terjadi : Nyeri perut, anemia, diare, hand and foot syndrome, hiperbilirubin, limphonia, neuropenia, stomatitis, trombositopenia. Efek samping yang jarang terjadi angina pectoris, fibrilasi atrial, depresi sumsum tulang belakang, bradikardi, bronchitis, bronkopneumoni, bronkospame, dispnea, kardiomyopati, toksisitas jantung, cholestatic hepatic, gangguan koagulasi, konjungtivitis, pendarahan ganstrointestinal, hipotensi, hipertensi.
     Zoladex
·        Komposisi : Goserelin
·        Golongan : Analog gonadotropin releasing hormon; gonadotropin inhibitor; agen antiendometriotik.
·        Mekanisme : Menghentikan produksi leutenizing hormon dari kelenjar pituitari, hal ini menyebabkan berkurangnya prodiksi testosteron, sehingga sel-sel kanker menjadi lambat pertumbuhannya dan ukuran sel kanker mengecil.
·        Indikasi : Sebagai pilihan pertama pada terapi kanker prostat
·        Efek samping : Lebih dari pasien mengalami aritmia atau palpitasi. Kurang dari 5% pasien mengalami anafilaksis, nyeri tulang, nyeri otot dan paresthesia Pada pria dapat terjadi infark miokardiak, emboli paru, tromboplebitis. Pada wanita terjadi efek androgenik dan perubahan perilaku dimana semua efek samping tersebut jarang terjadi namun bila terjadi harus segera mendapatkan penanganan medis. 50% pasien mengalami hot flashes, amenorea, 13% mengalami gangguan penglihatan, penurunan libido, pusing, sakit kepala, mual muntah, gangguan tidur, peningkatan berat badan.

Rabu, 29 Desember 2010

VEIN THROMBOSIS


Thrombosis 
 Pembekuan darah yang terjadi di pembuluh darah disebut sebagai thrombosis. Protein pembekuan yang terlepas dan terbawa dalam sistem vaskular dapat menyebabkan terjadinya embolus, struk, dan manifestasi klinis lain pada sistem vaskular. Abnormalitas thrombolitik meliputi : Arterial thombi (white thrombi) dan vein thrombi (red thrombi). Vein thrombi terutama ditemukan di sirkulasi vena dan terdiri atas fibrin dan eritrosit.
Deep Vein Thrombosis (DVT)
Trombosis biasanya disebabkan oleh venoustasis atau perlambatan aliran darah di sekitar sinus katub vena. Ekstensi thrombus primer muncul pada atau diantara vena dalam dan vena superficial di kaki. Dan terjadinya propagating clot menyebabkan obstruksi vena, perusakan katub dan kemungkinan tromboemboli. Deep vein thrombosis umumnya asimtomatis.

Thrombosis dapat disebabkan oleh beberapa factor antara lain :
  • Abnormalitas dari aliran darah
  • Abnormalitas pembuluh darah
  • Abnormalitas dari komponen pembekuan darah
  •  Drug induce
Faktor resiko terjadinya DVT 
 
  • Usia lebih dari 40 tahun
  • Underlying malignancy
  • Obesitas
  • Adanya vena varicose (varices)
  • Riwayat DVT atau emboli pulmoner
  • Semua prosedur bedah yang lebih dari 30 menit terutama ortopedi, neurosurgical, urogical dan gynaecological
  • Paralisis atau immobility (misal : stroke)
  • Pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi meningkatkan resiko relative DVT 3-4 kali.
  • Hormon replacement therapy (HRT). HRT meningkatkan resiko DVT 3-4 kali, tetapi resiko meningkat menjadi 10 kali jika terjadi pada usia lanjut.
  • Kehamilan dan puerperium
  • Penyakit serius, misal : gagal jantung, infark miocard, sepsis, inflammatory bowel disease
  • Adanya gangguan hipercoagulable.

Senin, 27 Desember 2010

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Diabetes Mellitus


Pada kedua tipe DM, terjadi defisiensi insulin. Jika pada DM tipe 1, defisiensi insulin disebabkan karena proses autoimun, pada DM tipe 2 disebabkan beberapa faktor, yaitu berkurangnya massa sel B pankreas, kadar asam lemak yang tinggi (lipotoksisitas), hiperglikemi kronik, amilin, kelelahan sel B pankreas dan faktor genetik.
Berkurangnya massa sel B pankreas banyak terjadi pada penderita DM tipe 2. Pada studi post-mortem telah dilaporkan terjadi pengurangan sel B pankreas sebanyak 40-60%. Hiperglikemi kronik selalu diikuti dengan menurunnya respon sekresi dan kerja insulin. Hal ini disebabkan akibat terjadi gangguan pada hidrolisis membran prospoinositida yang mengakibatkan penurunan konsentrasi diasilgliserol dan inositofosfat dalam sel B dan pada akhirnya mengurangi sekresi insulin. Hiperglikemi kronik menyebabkan resistensi insulin sebagai akibat down regulation dari sistem transport glukosa dengan adanya konversi fruktosa-6-fosfat menjadi glukosamin-6-fosfat yang menurunkan sensitivitas insulin di perifer.
Resistensi insulin banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2. Resistensi insulin terjadi bila kemampuan insulin untuk meningkatkan ambilan dan disposal glukosa di jaringan perifer (otot dan jaringan adiposa) terganggu atau kadar insulin normal menghasilkan efek biologis yang kurang dari normal. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan resistensi insulin antara lain, obesitas, diet, kurang gerak badan, hiperglikemi kronik, dan faktor genetik (Funk dan Feingold, 1995; Sugiyanto, 2004).
KOMPLIKASI
1.    Komplikasi Akut
a.    Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemik merupakan komplikasi tersering pada penderita DM yang mendapat terapi insulin. Komplikasi ini dapat terjadi pada penderita yang mendapat terapi sulfonilurea oral terutama penderita lanjut usia dengan gangguan fungsi hati atau ginjal yang mendapat obat-obatan dengan masa kerja yang panjang dan sangat poten seperti klorpropamid atau gliburid, lupa atau terlambat makan atau akibat latihan fisik yang lebih kuat dari biasanya tanpa suplemen kalori atau akibat penurunan dosis insulin (Dipiro, 2005).
a.    Koma
Koma adalah suatu keadaan gawat darurat yang memerlukan evaluasi segera untuk menentukan penyebabnya agar dapat diberikan terapi yang sesuai. Klasifikasi etiologi koma diabetik :
1).  Koma Hiperglikemik
Koma hiperglikemik dapat menyertai defisiensi insulin yang berat (ketoasidosis diabetik) atau defisiensi insulin ringan sampai sedang (koma non-ketotik hiperglikemik, koma hiperosmolar).
Ketoasidosis diabetik merupakan manifestasi pertama dari kasus yang sebelumnya tidak terdiagnosis atau dapat terjadi akibat kegagalan terapi insulin eksogen pada penderita DM. Ketoasidosis diabetik telah ditemukan pada penderita DM sebagai salah satu komplikasi yang cukup sering dari terapi  insulin.
Hiperglikemik dan hiperosmolar non-ketotik ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolalitas, dan dehidrasi tanpa adanya ketosis yang nyata. Komplikasi ini terjadi pada penderita paruh baya atau lanjut usia dengan DM tipe 2 yang seringkali ringan atau tersamar. Timbul letargi dan perasaan kacau saat osmolalitas serum melampaui 300 mosmol/L dan koma jika osmolalitas serum melampaui 330 mosmol/L (Braunwald, 2005).
2). Koma Hipoglikemik
Komplikasi ini terjadi akibat dosis insulin atau obat hipoglikemik oral (OHO) yang diberikan terlalu berlebihan. Umumnya terjadi pada terapi penggantian insulin pada penderita DM. Hipoglikemik dapat terjadi pada tiap penderita dengan terapi yang mendapat sulfonilurea oral, terutama jika penderita sudah lanjut usia, menderita penyakit ginjal atau hati, atau tengah mendapat pengobatan lain yang dapat mengubah metabolisme sulfonilurea (seperti fenilbutazon, sulfonamid atau warfarin). Komplikasi ini lebih sering terjadi dengan sulfonilurea masa kerja panjang dibandingkan obat-obat sejenis dengan masa kerja lebih singkat. (Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
a.    Asidosis Laktat
Reaksi ini terutama terjadi menyertai anoksia jaringan berat, sepsis atau kolaps kardiovaskular. Jika penderita DM datang dengan asidosis hebat tetapi kadar asam keto dalam plasma relatif rendah atau tidak terdeteksi, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan tingginya kadar laktat plasma (lebih dari 6 mmol/L), terutama jika sebab asidosis lainnya seperti uremia tidak ditemukan (Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).
1.    Komplikasi Kronis
a.    Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular ini merupakan penyakit pada pembuluh darah terkecil, yaitu perifer dan arteriol pra-kapiler. Komplikasi ini terutama tampak sebagai penebalan membran basalis kapiler.
1).  Retinopati Diabetik
·      Retinopati Non-proliferatif
Menggambarkan stadium paling awal dari keterlibatan retina pada diabetes dan ditandai oleh perubahan-perubahan seperti mikroaneurisme, pendarahan berbintik, eksudat, dan edema retina. Pada stadium ini, kapiler-kapiler retina meloloskan lemak, protein atau sel darah merah ke dalam retina. Bila proses ini berlangsung di makula (daerah dengan kepadatan sel penglihatan tertinggi), maka akan timbul gangguan penglihatan. Kejadian ini merupakan penyebab gangguan penglihatan tersering pada DM tipe 2 dan terjadi pada sekitar 6% penderita setelah beberapa waktu.
·      Retinopati Proliferatif
Penyakit ini melibatkan pertumbuhan-pertumbuhan kapiler baru dan jaringan fibrosa pada retina ke dalam badan kaca. Terjadi akibat adanya sumbatan pembuluh darah kecil yang menyebabkan hipoksia retina dan merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru. Retinopati proliferatif dapat terjadi pada kedua tipe penyakit DM, tetapi lebih sering terjadi pada DM tipe 1. Penyakit ini timbul 7-10 bulan setelah gejala awal. (Dipiro, 2005).

2).  Nefropatik Diabetik
Tiap tahunnya, sekitar 4000 kasus penyakit ginjal stadium akhir akibat nefropati diabetik terjadi pada penderita DM di Amerika. Angka ini mewakili 25% dari seluruh penderita yang dirawat sebagai kasus gagal ginjal. Penebalan membran basalis kapiler dan mesangium glomerolus ginjal menyebabkan glomerulosklerosis dalam berbagai tingkatan serta insufisiensi ginjal. (Dipiro, 2005).

3).  Neuropati Diabetik
Neuropati perifer dan otonom merupakan 2 bentuk komplikasi tersering pada kedua tipe DM. Patogenesisnya masih belum dipahami. Bentuk neuropati perifer yang lebih sering dijumpai yaitu neuropati sensorik dan motorik simetris serta neuropati otonom. Komplikasi ini diduga sebagai akibat toksisitas metabolik atau osmotik yang terkait hiperglikemia.
·      Neuropati Perifer Sensorik
Merupakan defisit sensorik yang seringkali didahului parestesia, rasa gatal dan nyeri yang makin bertambah selama beberapa bulan atau tahun. Sindroma-sindroma khas yang terjadi pada penderita DM dengan neuropati sensorik, termasuk osteopati tangan dan kaki distal, deformitas lutut atau pergelangan kaki, dan ulserasi neuropatik pada kaki.
·      Neuropati Motorik
Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan neuropati sensorik dan dihubungkan dengan perlambatan hantaran saraf motorik dan kelemahan serta atrofi otot.
·      Neuropati Otonom
Komplikasi ini sering terjadi pada penderita DM yang sudah berlangsung lama dan merupakan problem klinis yang sangat mengganggu. Neuropati dapat melibatkan gangguan viseral. Dapat terjadi hipotensi postural, takikardia saat istirahat yang menetap, penurunan respon kardiovaskular, gastroparesis, episode-episode diare (seringkali pada malam hari) dan konstipasi, kesulitan mengosongkan kandung kemih, dan impotensi. (Dipiro, 2005).

b.    Makrovaskular
1). Penyakit Jantung
Pada penderita DM sering disebabkan aterosklerosis koroner. Akibat yang sering terjadi adalah gagal jantung, infark miokardium yang merupakan penyebab kematian utama pada penderita DM tipe 1.
2). Penyakit Vaskular Perifer
Manifestasi kliniknya meliputi iskemia dari ekstremitas bawah, impotensi, dan angina usus.


3). Penyakit Serebrovaskular
Diabetes merupakan faktor resiko terjadinya oklusi pada cabang serebral dan arteri basilar anterior, pertengahan, dan posterior yang dapat memicu terjadinya infark serebral atau pendarahan intraserebral. Terjadinya infark serebral pada penderita DM ditandai peningkatan jumlah area infark, terutama lakuna dan pada beberapa kasus ditemukan banyak lesi. Lesi ini terutama terletak pada area yang mendapat suplai dari arteri paramedian kecil (basal ganglia, talamus, kapsul internal, dan serebellum). Encephalomalacia juga banyak didapatkan pada penderita DM. Penyakit ini makin parah dengan bertambahnya usia penderita dan lesi biasanya terdapat pada otak tengah. (Goulon-Goëau dan Said, 1994; Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).

c.    Dermopati Diabetik
Dermopati diabetik ditandai oleh bercak-bercak coklat atrofik pada kulit, biasanya pada daerah pretibia (“bercak-bercak tulang kering”) (Braunwald, 2005).

d.    Komplikasi Tulang dan Sendi
Komplikasi tulang dan sendi biasanya dihubungkan dengan gangguan metabolik atau vaskular dari DM yang sudah berlangsung lama.
·     Cheirarthropathy diabetic juvenilis, yaitu sindroma kekakuan kronik progresif pada tangan sekunder dari kontraktur dan pengencangan kulit  di atas sendi-sendi. Biasanya timbul dalam 5-6 tahun sesudah gejala awal pada DM tipe 1.
·     Kontraktur Dupuytren, adalah penebalan fasia palmaris tangan, menimbulkan deformitas seperti cakar. Pada pasien DM, hal ini merupakan akibat nekrosis sistemik dan pembentukan jaringan parut sekunder pada jaringan ikat sebagai konsekuensi mikroangiopati diabetik.
·     Demineralisasi tulang, densitas tulang seperti terukur dengan absorbsi foton pada lengan bawah adalah 10-20 % di bawah normal pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol yang sepadan.
·     Bursitis, terutama terjadi di daerah bahu dan pinggul pada pasien DM.
(Dipiro, 2005).

e.    Infeksi
Beberapa jenis infeksi seperti bakteriuria, esofagitis kandida, dan vaginitis kandida lebih sering menyerang pasien DM  dibandingkan kontrol lain yang sepadan. Aterosklerosis dengan penyakit vaskular perifer sangat lazim pada populasi  DM dan iskemia yang ditimbulkannya berperan penting dalam terjadinya infekdi ekstremitas bawah (Goulon-Goëau dan Said, 1994; Funk dan Feingold, 1995; Karam dan Forsham, 1998).

f.     Gangren
Pada diabetes melitus kronik terjadi kerusakan pada sistem saraf perifer yaitu komponen sensorik dan motorik divisi somatik dan otonom. Gangguan persarafan ini disebabkan karena neuropati diabetes. Neuropati diabetes ini awalnya disebabkan oleh hipoksia sel-sel saraf, kemudian sel Schwann sebagai sel penunjang saraf mulai menggunakan metode alternatif untuk menangani beban peningkatan glukosa kronik, yang akhirnya menyebabkan demielinisasi segmental saraf-saraf perifer. Demielinisasi menyebabkan perlambatan hantaran saraf  dan berkurangnya sensitivitas saraf, yang kemudian menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri. Akibatnya, kemungkinan pasien untuk mengalami cedera terutama pada ekstrimitas bawah semakin besar. Begitu pasien cedera atau terluka, ditambah dengan adanya gangguan aliran darah dan sistem imun, luka tersebut akan menjadi gangren.
Gangren itu sendiri merupakan akibat dari kematian sel dalam jumlah besar. Gangren dapat diklasifikasikan sebagai gangren kering atau basah. Gangren kering meluas secara lambat dengan hanya sedikit gejala. Gangren kering sering dijumpai di ekstremitas, umumnya terjadi akibat hipoksia lama. Gangren basah adalah suatu daerah dimana terdapat jaringan mati yang cepat perluasannya, sering ditemukan di organ-organ dalam, dan berkaitan dengan invasi bakteri ke dalam jaringan yang mati tersebut. Gangren ini, menimbulkan bau yang kuat dan biasanya disertai manifestasi sistemik. Gangren basah dapat timbul dari gangren kering. Gangren gas adalah jenis gangren khusus yang terjadi sebagai respon terhadap infeksi jaringan oleh suatu jenis bakteri aerob yang disebut clostridium. Gangren jenis ini paling sering terjadi setelah trauma. Gangren gas cepat meluas ke jaringan di sekitarnya sebagai akibat dikeluarkannya toksin-toksin oleh bakteri yang membunuh sel-sel di sekitarnya. Sel-sel otot sangant rentan terhadap toksin ini, dan apabila terkena akan mengeluarkan gas hidrogen sulfida yang khas. Gangren jenis ini dapat mematikan. (Braunwald, 2005).